Selasa, 17 Desember 2013

Landasan Menyelamatkan Lingkungan dalam Islam



Landasan Menyelamatkan Lingkungan Dalam Islam
Oleh: A. Haris Maulana

Beberapa tahun yang lalu, berita amblasnya salah satu ruas jalan di Jakarta serta prediksi Walhi yang memperkirakan Jakarta akan tenggelam pada tahun 2030, benar-benar menjadi fokus utama pemberitaan saat itu. Eksploitasi air tanah yang berlebihan tidak disertai daya serap tanah terhadap air hujan akibat banyaknya bangunan di kota tersebut menyebabkan penurunan debit air tanah. Hal ini diperparah oleh banyaknya bangunan tinggi di kota Jakarta menjadi dasar prediksi Walhi tersebut. Selain Jakarta, kota-kota lain pun seperti Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang diperkirakan akan mengalami nasib yang sama. Prediksi yang masuk akal walaupun belum tentu dan tidak pasti terjadi.
Dimusim penghujan tahun ini, banjir melanda beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang. Korban-korban berjatuhan, hingga hilangnya nyawa. Begitu pun dengan masalah sampah yang senantiasa menghiasi pemandangan kota-kota besar.
Realita ini sudah sepatutnya menjadi bahan renungan bagi kita, sudahkah kita menjadi rahmatal lil alamin? Ataukah jangan-jangan kita menjadi orang yang tidak sadar telah merusak alam ini?
Contoh kecil, sering kali kita tidak menyadari kalau sampah yang kita buang akan mencemari lingkungan tempat kita tinggal. Sampah seperti plastik dan kaca dan sejenisnya, tidak mudah hancur/lapuk. Menyebabkan penurunan kualitas bumi tempat tinggal kita.

Potensi Berbuat Kerusakan
Sinyalemen kerusakan di muka bumi ini, jika kita mau melihat pada Al-Qur’an, sebenarnya telah diprediksi sejak awal penciptaan manusia, yakni ketika malaikat memprediksi manusia akan berbuat kerusakan di bumi. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30, disebutkan:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”  Mereka berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”  Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam perjalanan selanjutnya, manusia hidup di dunia ini terdiri dari tiga golongan: golongan beriman, golongan kafir, dan golongan munafik. Golongan beriman, mereka sepenuhnya tunduk pada aturan-aturan Allah. Sebaliknya golongan kafir, bagi mereka sama saja diberi peringatan atau tidak, mereka tidak akan tunduk pada aturan-aturan Allah. Sedangkan yang terakhir, golongan munafik, mereka yang mengaku secara lisan tunduk pada aturan-aturan Allah tapi hati dan perbuatan mereka tidak tunduk pada aturan-aturan Allah.
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 11 –12, Alloh SWT berfirman: Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab,”kami sesungguhnya berbuat kebaikan .” Ingatlah merekalah sebenarnya yang berbuat binasa (kerusakan). Tetapi mereka tidak ingat (tidak mau mengerti). Ayat ini sebenarnya menceritakan tentang tingkah polah orang munafik. Orang yang secara tidak sadar telah berbuat kerusakan.
Sebagai contoh bencana yang terjadi di negeri beberapa tahun yang lalu, adalah bencana Wasior di Papua yang merenggut korban jiwa lebih dari seratus. Bencana alam ini disebabkan karena berkurangnya daya serap tanah terhadap air yang mengalir diatasnya. Ada yang menyebutkan karena kesalahan tata kota dan ada juga yang mengatakan akibat pembalakan liar yang mengakibatkan gundulnya hutan di hulu sungai. Namun apapun alasannya, fenomena bencana yang terjadi di alam ini pada hakikatnya terjadi karena ulah manusia sendiri yang merusaknya. Dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum, 30: 41)

Peringatan Keras Dalam Al-Qur’an

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memberikan peringatan kepada kita agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Kerusakan akidah dan kerusakan akhlak menjadikan penyebab utama kerusakan alam ini. Keberimanan manusia sesungguhnya tercermin pada hati, perkataan, dan perbuatannya. Kemunafikan manusia terjadi manakala hati, perkataan, dan perbuatan tidak lagi sejalan.
Beberapa peringatan Alloh dalam Al-Qur’an tentang kerusakan di bumi ini, adalah sebagai berikut:
Ada diantara manusia yang ucapannya tentang kehidupan dunia mempesona kamu. Ia berani bersumpah dengan (nama) Alloh (bahwa ucapannya itu) betul-betul betul-betul keluar dari hatinya. Padahal ia adalah musuh yang kejam. (itulah sifat orang munafik). Dan Apabila ia pergi (dari tempat ia berbicara muluk-muluk itu), ia membuat kerusakan di muka bumi, merusak tanam-tanaman dan merusak (kehormatan wanita yang membawa kerusakan) anak-anak (dan rumah tangga). Dan Alloh tidak menyukai kerusakan. (QS. Al-Baqarah (2): 204-205)
Dan janganlah kamu ikuti perintah orang-orang yang melanggar batas! Yaitu orang-orang yang berbuat bencana dimuka bumi dan tidak mengadakan perbaikan (membangun). (QS. Asy-Syu’araa (26): 151-152).
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 183)
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al-Qashash, 28: 77)
Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Alloh dan Rasul-Nya, dan berbuat bencana di muka bumi , ialah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya bergantian atau dibuang jauh-jauh dari negerinya. Hukuman yang demikian adalah suatu penghinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang amat berat (QS.al-Maidah(5): 33)

Sikap Kita

Islam mewajibkan umatnya agar dalam memanfaatkan sumber daya alam tidak berlebihan (israf), tidak boros (tabdzir), tidak berfoya-foya, tidak merusak habitat atau keseimbangan alam, tidak mencemari/membuat polusi.
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shaad, 38: 28)
Suatu ketika Rasulullah saw berjalan melalui Sa’ad bin Abi Waqqash yang kebetulan sedang berwudhu. Kepadanya Rasul berkata:”Hai Sa’ad, janganlah kau bersikap boros/berlebih-lebihan dalam menggunakan air!” Sa’ad menjawab:”Apakah dalam penggunaan air ada peluang berlaku boros?” “ Ya, meskipun engkau berwudhu dalam air sungai yang sedang mengalir,” jawab Rasulullah (HR. Ibnu Majah).
 

Pentingnya Pendidikan Lingkungan

Guna menyelamatkan lingkungan yang ada, pentinglah bagi kita sebagai umat Islam untuk memberikan pemahaman tentang pendidikan lingkungan kepada masyarakat disekitar kita. Pendidikan lingkungan sudah selayaknya diberikan dan diajarkan sejak usia dini dan berkelanjutan.
DR. Muhbib Abdul Wahab, MA, ketua Pusat Pengkajian Islam dan Muhammadiyah (PPIM) UMJ dan Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menuliskan pendidikan lingkungan perlu diorientasikan pada beberapa hal, yaitu: Pertama, penumbuhan kesadaran lingkungan yang benar di kalangan umat Islam melalui visi hidup sehat, bersih, ramah lingkungan, dan harmoni terhadap alam demi masa depan anak cucu kita. Kedua, pengembangan dan pemberdayaan nilai-nilai moral,  orientasi dan keterampilan ekologis yang Islami (tidak eksploitatif, destruktif), sehingga lingkungan dapat dikelola dengan baik dan dimanfaatkan demi kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Ketiga, aktualisasi ekosistem kehidupan terpadu: alam, biologi, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya secara seimbang, harmoni dan mutualistis dengan lingkungan alam. (Suara Muhammadiyah, Desember 2009).
Karena tugas ini bukanlah tugas individu (perorangan) tapi tugas bersama. Dalam Surat Ar-Rad (13) ayat 11, Allah swt berfirman:”Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubahnya.”

Senin, 16 Desember 2013

Anjuran Berinfak



Anjuran Berinfak
Oleh: A. Haris Maulana
Allah Ta’ala berfirman: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka,(QS. Al-Baqarah, 2: 2-3)
Dalam tafsir Jalalain disebutkan: (dan sebagian dari yang Kami berikan kepada mereka) yang Kami anugerahkan kepada mereka sebagai rezeki (mereka nafkahkan) mereka belanjakan untuk jalan menaati Allah.
Infak berasal dari kata anfaqa yang memiliki arti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Dengan demikian infak dapat berarti menafkahkan/membelanjakan sebagian rezeki dijalan Allah. Sedangkan menurut istilah syariat, infak adalah mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan dalam Islam.
Ahmad dan Abu Ya’la mengeluarkan dari Ummu Salamah ra, dia berkata, “Nabi saw memasuki tempat tinggalku dengan rona muka yang muram. Karena khawatir beliau sakit, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa muka engkau tampak muram?” Beliau menjawab, “Karena tujuh dinar yang kemarin kita terima, tapi hingga sore hari uang itu masih berada dibawah kasur.” Didalam riwayat lain disebutkan, “Dan kita belum menginfakkannya.” (Al-Haitsamy, 10/2381 rijalnya shahih).
Al-Bukhari mengeluarkan didalam Adabul Mufrad, hal 43, dari Abdullah bin Az-Zubair ra, dia berkata, ”Aku tidak melihat dua orang wanita yang lebih murah hati daripada Aisyah dan Asma’. Sekalipun caranya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan sedikit demi sedikit, dan setelah terkumpul dalam jumlah yang banyak, dia membagi-bagikannya. Sedangkan Asma’ tidak pernah menyimpan sedikitpun hingga esok hari.
Dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Bazzar dengan isnad hasan dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud ra katanya: Ketika Nabi saw datang, masuk ke rumah Bilal, beliau dapatkan sekantung buah kurma. Tanya Rasulullah: “Wahai Bilal apa ini? Kata Bilal:”Sengaja aku sediakan untuk menjamu engkau jika engkau datang bertamu.” Sabda beliau:”Tidakkah engkau takut kalau-kalau hal itu akan menjadi adzab neraka jahannam. Wahai Bilal infakkanlah segera, jangan kamu takut akan pemberian Tuhan yang memiliki Arsy.”(Dikeluarkan oleh abu Nuaim dalam kitab al-Hilyah jilid 1 halaman 149)
Macam-macam infak: Pertama, sedekah/hadiah. Pengertian sedekah atau shadaqoh secara bahasa berasal dari kata “shadaqa” yang artinya “benar”. Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, sama juga hukum dan ketentuannya, perbedaannya adalah infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas menyangkut juga hal yang bersifat non material.
 Sedekah ialah memberikan barang atau zat dengan tidak mengharapkan balasan dari yang diberi, karena yang diharapkan adalah pahala di akhirat. Sedangkan hadiah ialah memberikan barang atau zat dengan tidak mengharapkan imbalan, serta dibawa ke tempat yang diberi. Allah Ta”ala berfirman: “Dan memberikan harta yang dicintainyakepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.(QS. Al-Baqarah, 2: 177). Rasulullah saw bersabda: “Sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti akan saya kabulkan undangan tersebut, begitu juga kalau sepotong kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu akan saya terima.(HR. Bukhari).
Kedua, wakaf. Wakaf menurut arti bahasa adalah menahan, sedangkan menurut istilah ialah menahan harta milik dalam kepentingan sabilillah. Atau dengan kata lain, wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, mungkin diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan. Allah swt berfirman: “Tidak akan tercapai oleh kamu kebaikan, sebelum kamu sanggup mem,belanjakan sebagian barang yang kamu sayangi.” (QS. Ali Imran,   : 92). Dalam suatu riwayat: Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah saw,”Apakah perintahmu kepadaku berhubungan dengan tanah yang saya dapat ini? Jawab beliau:”Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar terus sedekahkan manfaatnya, dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak pula diberikan, dan tidak dipusakakan.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Rasulullah saw telah bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, putuslah amalnya, kecuali tiga hal: pertama, sedekah yang selalu mengalir pahalanya (wakaf), kedua, ilmu yang bermanfaat, dan ketiga, anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” 
 Ketiga, hibah. Hibah ialah memberikan zat atau barang dengan tidak ada tukarannya. Hibah adalah salah satu dari sekian banyak sifat yang terpuji yang harus dimiliki setiap muslim. Dengan keimanan yang tinggi, ia yakin bahwa segala rezeki yang diterimanya semata-mata hanyalah karunia dari Allah swt. Hatinya selalu iba terhadap saudaranya yang dalam keadaan menderita. Semua amal perbuatannya yang saleh itu semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah. Karena itu, ia tidak segan-segan mengurangi sebagian dari rezekinya itu untuk menolong sesama. Firman Allah swt: “Ambilah sedekah (hibah) dari sebagian harta mereka untuk kamu gunakan membersihkan dan menaikkannya (dari sifat kikir). (QS. At-Taubah: 103)
Sebagai muslim yang bertakwa, janganlah segan-segan menafkahkan sebagian harta di jalan Allah. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra dia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara hal yang akan dijumpai seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah dia mati adalah; ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang dia tinggalkan, mushaf yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah untuk para musafir, sungai yang dia alirkan, shadaqah yang dia keluarkan dari hartanya ketika dia sehat dan masih hidup, maka semua itu akan ditemui setelah kematiannya.”(HR. Ibnu Majah).  Nabi Muhammad saw bersabda: “Orang mukmin itu adalah dermawan yang terpuji sedangkan pengecut ialah bakhil lagi jelek perangainya. (HR. Turmudzi dan Abu Daud).